ARTIKEL UNIK DAN VIRAL

Keramaian di Bulan Desember

DewaKiuKiuLounge Keramaian di Bulan Desember, Kemarin menjelang hari perayaan natal, Indonesia diviralkan dengan narasi kebencian yang sistematis bahwa mengucapkan natal itu haram dan baramg siapa ( umat islam ) yang mengucapnya akan di tuduh kafir. Natal yang jatuh pada 25 Desember atau lima hari kedepan sebelum malam kunci tahun.

Bukan saja umat kristiani, sebagian sahabat muslim-dan no muslim lainnya, seperti umat Hindu, Budha dan Konghuchu juga turut memeriahkan hari raya umat kristen tersebut. Tentu dengan ungkapan-ungkapan dan bertamu pastinya.

Tradisi ini merupakan bingkai konsolidasi hidup antar umat beragama di dalam sebuah lingkungan, baik lingkungan kenegaraan, perkotaan, pedesaan hingga aktif pada lingkungan media sosial. Namun disinyalir, narasi kafir dan mengkafirkan orang lain masih menguat pada tatanan masyarakat Indonesia.

BandarQ Perdebatan soal ucapan selamat natal menguat dipermukaan. Haram, itu kata mereka yang fanatik ketauhidan dan aqidah. Sementara sebagai sebuah bangsa yang didalamnya terdapat kemajemukan, penekanan akan saling terbuka dan menerima, wajib dilakukan. Toh, Pancasila mengajarkan hal demikian.

Keramaian-di-Bulan-Desember,

Bukan saja itu, hubungan ucapan selamat natal dan tuduhan terhadap pandangan liberal selalu disematkan kepada saya. Ceritanya bermula ketika saya mengunggah sebuah status di Whatsupp.

Seperti ini statusnya; “Kafir dan Haram adalah narasi sistematis horang endonesia“. Menjelang 15 menit kemudian, status itu kemudian dipolitisir bahwa saya adalah orang liberal, kurang akidah dan tidak paham tauhid. Aduduh, capedeh netizen.

Tenyata, saya hanya ingin berekspresi atas fenomena-fenomena lucu yang membuming Keramaian ketika menjelang natal. Fenomena lucu itu adalah justifikasi tak berdasar dan karakter intoleran orang Indonesia.

Keramaian-di-Bulan-Desember,

Lemahnya kita sebagai sebuah bangsa disebabkan karena selalu mengurusi cara pandang orang lain terhadap kebebasan dan keyakinan agama tertentu. Akibatnya, ketertingalan dalam berdemokrasi-lah yang kita dapatkan.

10 Desember kemarin ramai-ramai kita selalu merayakan hari HAM sedunia. Tapi kenapa, hanya sebatas seremoni saja. Bukankah HAM mengajarkan kita untuk mandewasakan diri terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain. Lalu kenapa kita malah naif umtuk mengkriminalisasi keyakinan orang sih. Aneh!

Pasti ketika saya bicara HAM nanti ada yang komentari atau tidak enak dihati kalau wacana liberal lagi yang saya angkat. Iya, saya paham. HAM merupakan pemikiran dari barat. Lahir karena melihat matinya kemanusiaan, kekerasan, penindasan.

Dalam Keramaian agama islam bahkan semua agama yang diturunkan Tuhan, mengutuk keras tindakan kekerasan, penindasan, dan mengangkat martabat manusia. Dasarnya ialah, agama dan beragama itu damai.

Tak hanya itu, narasi kebencian dan kafir mengkafirkan datang dari mereka yang merasa ilmu agamanya paling hebat. Leluasa, mereka mengumbar narasi ini sebagai sebuah doktrinasi terstruktur dan masif. Sehingga masyarakat awam dengan mudah terprovokasi. Siapa mereka, kita semua pasti sudah tahu. Ada kok, kalau telaah lagi di medsos.

Perbedaan bukan dijadikan kekuatan malah dipakai sebagai legitimasi kebenaran yang satu dan tidak mengakui kebenaran yang lain. Sampah seperti ini lebih baik di daur ulang, jangan dibakar karena akan menimbulkan aroma tidak sedap di ruang publik.

Oleh karenanya, apa salahnya memberi selamat. Terbuka bagi yang lain yang berbeda dengan kita. Alam demokrasi Indonesia sedang kita perbaiki. Bahasa kafir tidak cocok hidup di alam seperti ini. Kita semua manusia, pintaku itu saja tidak lebih dan tidak kurang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *